Jakarta, CNN Indonesia —
Dalam setahun, apa yang bisa dicapai suatu negara dalam skala penambahan target Energi Baru Terbarukan (EBT)?
Negara jiran terdekat, Malaysia mencatatkan realisasi 25% bauran energi dari EBT. Sepanjang 2022, capaian EBT Malaysia naik sekitar 5 persen dari tahun sebelumnya.
Negara tetangga lain seperti Vietnam malah sudah sejak 2020 memasok setidaknya 25% kebutuhan listrik dari EBT. Pada 2022 Vietnam mencatat kemajuan pesat dengan menambah bauran EBT-nya menjadi lebih dari 40%.
Dua raksasa EBT Asia, India dan China, jauh lebih mengesankan lagi.
India yang baru mencatatkan 23% bauran EBT pada 2020, kini sudah menambah persentase bauran hingga 43%. Tingginya angka pertumbuhan EBT India terjadi akibat ekspansi pembangkit listrik energi surya yang sangat masif beberapa tahun terakhir.
Yang membukukan pertumbuhan bauran paling besar tentu saja China sang raksasa EBT dunia, dengan tambahan 17,22 % selama 2022. Tahun ini China mengklaim sudah berhasil melewati 50% kontribusi EBT pada pembangkit listrik nasionalnya, meski baru ditargetkan tercapai 2025.
Di Indonesia situasinya tak sebaik negara-negara tersebut.
Sepanjang 2022, menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral, hanya ada tambahan 0.6 persen listrik dari EBT . Indonesia pun tercatat sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan EBT terendah di Asia sepanjang 2022.
Dari target memenuhi bauran energi sebesar 15,7% tahun 2022, hanya berhasil dipenuhi 12,3%. Indonesia pun melanjutkan tren kegagalan memenuhi target sejak dicanangkan 2018.
Berbeda dari kebanyakan negara lain, struktur energi di Indonesia sangat terpusat pada pemerintah dalam hal ini dikendalikan oleh Kementerian ESDM dengan eksekusi oleh PLN.
Semua kebijakan energi nasional hanya bisa direalisasikan melalui PLN, termasuk dalam capaian EBT.
“Meskipun pemerintah punya planning dan target, eksekusinya lagging. Karena saat ini PLN sendiri punya persoalan kelebihan pasok listrik dari sumber konvensional non-EBT,” kata Fabby Tumiwa Direktur IESR. lembaga pemikir isu energi dan kebijakan publik.
“Pasokan ini harus disalurkan supaya PLN tidak terlalu banyak kelebihan biaya operasi. Kalau cost meninggi, PLN bisa rugi. Bisa-bisa nanti urusannya malah dianggap salah urus, bisa ke KPK. Karena itu masih sulit bagi PLN untuk fokus ke EBT.”
Kelebihan pasokan (oversupply) adalah isu paling serius yang dihadapi PLN saat ini, sehingga sangat membebani keuangannya. Dalam salah satu Rapat Anggaran di DPR yang menghadirkan PLN September lalu, terungkap bahwa surplus listrik PLN diperkirakan mencapai 7 GW tahun 2023.
Kelebihan pasok merupakan konsekuensi perjanjian jual-beli daya (Power Purchase Agreement) yang diteken antara PLN dan produsen listrik swasta (Independent Power Producers, IPP) sejak 1990-an.
PPA mulanya diniatkan sebagai akad antara pemerintah dan swasta untuk memastikan amannya pasokan listrik guna mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tahun 2015 saat baru setahun berkuasa, Presiden Joko Widodo gusar melihat nasib Proyek 35 Gigawatt yang mangkrak warisan Pemerintahan Presiden SBY. Untuk membuat proyek ini berlanjut, maka IPP diikat dengan perjanjian PPA.
Asumsi pemerintah saat itu adalah menggenjot pertumbuhan sampai 8% per tahun — yang akan membutuhkan tambahan pasokan listrik luar biasa besarnya.
PPA memberi jaminan bahwa setelah swasta menanam investasi besar membangun pembangkit, PLN pasti akan membeli daya listrik yang dihasilkan.
Pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2015 hanya berkisar 5% dan bahkan pada 2020 anjlok sampai di bawah 3% karena pandemi.
Akibatnya pasokan listrik menumpuk. Bukan cuma persoalan mengelola pasokan ini yang membuat urusan runyam keuangan PLN, tetapi juga menghambat pelaksanaan rencana mengejar target elektrifikasi baru dari EBT.
“(Proyek 35 GW) ini adalah kegagalan perencanaan sejak awal. Suplai dan pasokan tidak seimbang, antara proyeksi dan realisasi gap-nya terlalu jauh. Tetapi karena sudah terlanjur diteken, ya sudah harus ditanggung konsekuensinya,” kata Putra Adhiguna, analis pada IEEFA. “Dampaknya ke EBT adalah target menjadi sangat sulit dicapai.”
Meski sering diusulkan, opsi renegosiasi klausul PPA dengan produsen listrik swasta belum membuahkan banyak hasil. Sempat dilakukan oleh PLN di tengah pandemi, nego ulang baru menghasilkan penundaan pembayaran, bukan pengurangan kewajiban.
Renegosiasi juga dipandang berisiko karena rentan digugat oleh kreditur proyek 35 GW di Pengadilan Internasional. Selain adanya kemungkinan kalah, gugatan juga bisa menurunkan status (downgrade) utang Indonesia.
Artikel berasal dari berbagai sumber yang telah dipublikasikan sebelum tanggal artikel ini dibuat, keakuratan informasi perlu untuk di validasi kembali. Segala bentuk kekeliruan dan kesalahan yang terjadi adalah tidak dimaksudkan untuk tujuan apapun. Moneyetalks.com menerima saran, koreksi, ide dan kritik dari pembaca. Semua saran, koreksi, ide dan kritik yang diterima akan kami pertimbangkan untuk kemajuan Moneyetalks.com Hubungi kami disini.
Jakarta, CNN Indonesia — Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno...
Jakarta, CNN Indonesia — Transmart Full Day Sale spesial Merdeka Belanja...
Jakarta, CNN Indonesia — Arsitek jembatan lengkung (longspan) Gatot...
Jakarta, CNN Indonesia — Ayah dan Bunda yang mau beli mainan anak, belinya di...
Jakarta, CNN Indonesia — PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) mengatakan uji...
Jakarta, CNN Indonesia — Giordano Indonesia meluncurkan kampanye #OneIndonesia:...
Jakarta, CNN Indonesia — Bank Indonesia (BI) mencatat indeks keyakinan konsumen...
Jakarta, CNN Indonesia — Belanja furnitur untuk kebutuhan isi rumah emang paling...
Jakarta, CNN Indonesia — PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) menjelaskan...
Jakarta, CNN Indonesia — Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick...